Jakarta,Sinarpolitan.com – Asas Non Retroaktif Dalam Statuta Roma 1998 dan Pengaruhnya Dalam Tataran Internasional dan Nasional Pemberlakuan asas non retroaktif serta merta akan memiliki akibat hukum tidak saja dalam tataran internasional tetapi juga dalam tataran nasional. Rabu (2/03/2022)
Dalam tataran internasional, putusan-putusan pengadilan yang menerapkan asas retroaktif (Mahkamah Militer Nuremberg dan Tokya, bekas Yugoslavia dan Rwanda) dapat dibatalkan.
Argumentasi ini diberikan dengan melihat contoh yang telah terjadi pada kasus tabrakan antara kapal berbenderaPrancis dan berbenderaTurki di laut lepas pada tahun 1926. Kasus tersebut di adili oleh pengadilan nasional Turki dan dibenarkan oleh Mahkamah Internasional saat itu. Selanjutnya putusan pengadilan nasional Turki dianggap tidak sah oleh United Nation Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) karena bertentangan dengan prinsip kebebasan di laut lepas yang diatur didalam UNCLOS 1982.
Dalam tataran nasional khususnya di Indonesia, apabila Indonesia meratifikasi Statuta Roma 1998, maka akan berakibat dihapuskannya asas retroaktif dalam undang-undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Hal ini akan menjadi langkah mundur dalam upaya menyeret pelaku kejahatan hak asasi manusia di masa lalu yang sedang dilakukan oleh pegiat hak asasi manusia di Indonesia. Artinya, para pelaku penjahat hak asasi manusia di masa lalu akan terbebas dari jerat hukum.
Penerapan asas non retroaktif dalam Statuta Roma 1998 apabila dikaitkan dengan asal mula kemunculan asas non retroaktif (legalitas) yang berasal dari ajaran klasik Von Feurbach dipandang tidak sesuai untuk kejahatan luarbiasa karena ajaran Von Feurbach tentang asas legalitas semata-mata untuk kepentingan individu dari kesewenang-wenangan pemerintah Negara (hubungan antara rakyat dan pemerintah/penguasa), sementara Statuta Roma dengan yurisdiksi kriminalnya sebenarnya telah memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan umat manusia.
Digunakannya asas non retroaktif dalam statuta Roma 1998 juga tidak sesuai dengan ajaran hukum alam dan kebiasaan internasional yang sudah dilakukan oleh pengadilan internasional terdahulu.
Dalam tataran internasional diterapkannya asas non retroaktif dalam statuta akan berakibat tidak diakuinya putusan Mahkmah Militer terdahulu yang menerapkan asas retroaktif. Sementara dalam tataran nasional,
Apabila Indonesia meratifikasi Statuta Roma 1998 maka asas retroaktif harus dihapus dari undang-undang nasional misalnya undang-undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia hal ini tentu akan menjadi kemunduran bagi penegakan hukum untuk mengadili pelaku kejahatan kemanusiaan di masa lalu.(Red/Adv)