Madiun,Sinarpolitan.com-Pada saat ini perjanjian baku telah digunakan secara luas dalam berbagai bidang perdagangan barang dan/atau jasa, mulai dari bon pembelian barang yang mencantumkan perjanjian baku bahwa barang yang sudah dibeli tdak dapat ditukar atau dikembalikan, sampai dengan polis asuransi kerugian atau asuransi kesehatan yang merupakan perjanjian baku, perjanjian kredit di bank, yang memuat berbagai ketentuan yang tdak pernah dirundingkan dengan pihak tertanggung.Selasa ((27/07/2021)
Berbagai ketentuan dalam perjanjian baku yang dususun secara sepihak dan tdak pernah dirundingkan antara pihak penyusun perjanjian baku tersebut dengan pihak penerima perjanjian baku tersebut, sangat potensial memuat ketentuan yang merugikan pihak penerima perjanjian baku. Ketentuan yang merugikan tersebut dapat berisi:
a.pengurangan kewajiban pihak penyusun perjanjian baku;
b.pengalihan kewajiban pihak penyusun perjanjian baku kepada penerimaperjanjian baku;
c.pengurangan atau penghapusan hak dari penerima perjanjian baku
Potensi kerugian pihak penerima perjanjian baku semakin mengemuka dalam penggunaan perjanjian baku digital sebagai akibat Revolusi Industri 4.0, karena perjanjian baku digital terjadi dalam kondisi nir tatap muka (faceless). Selain itu, karena domisili pembuat dan domisili penerima perjanjian baku digital dapat berbeda negara dengan bahasa yang berbeda, maka potensi kerugian penerima perjanjian baku digital sebagaimana dikemukakan di atas semakin meningkat.
Untuk melindungi penerima perjanjian baku dari kerugian yang potensial terjadi akibat ketentuan dalam perjanjian baku dibuat sepihak oleh penyusun perjanjian baku, sehingga kesetaraan hak dan kewajiban dapat diwujudkan, maka berbagai negara menerbitkan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyusunan dan penggunaan perjanjian baku, termasuk perjanjian baku digital. Pengaturan tentang penyusunan dan penggunaan perjanjian baku dilengkapi pula dengan sanksi perdata, sanksi administratf, serta sanksi pidana bagi penyusun perjanjianbaku yang melanggar peraturan perundang-undangan tersebut.
Perjanjian baku pada umumnya memuat klausula baku, untuk mana Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menetapkan rumusannya sebagai berikut: “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.” Artnya, UUPK mengisyaratkan bahwa perjanjian baku memang merupakan tawaran yang bersifat “take it or leave it” dari pelaku usaha kepada para calon konsumen.
Pelaku usaha sebagai pembuat perjanjian baku sudah tahu betul apa yang hendak dia tawarkan, maupun apa yang hendak dia dapatkan sebagai kontra-prestasi dari konsumen. Dan biasanya tdak demikianlah halnya dengan konsumen. Konsumen akan memerlukan usaha ganda untuk memahami rumusan dari ketentuan mengenai hak dan kewajiban tmbal balik dalam perjanjian baku.
Dalam kenyataan sosial, konsumen yang pada umumnya adalah rakyat biasa, menghadapi sejumlah kendala sosiologis, profesional maupun teknis dalam menghadapi pelaku usaha:
1.Mereka membutuhkan barang dan/atau jasa dari pelaku usaha yang jauh lebih kuat secara sosial-ekonomis. Pelaku usaha seringkali memperlakukan konsumen dengan “body language” yang mengisyaratkan “Jika kamu tdak mau, masih ada banyak orang lain yang mau.”
2.Para penyusun perjanjian baku biasanya adalah orang-orang profesional yang menulis dalam bahasa yang tdak membumi bagi konsumen yang pada umumnya adalah rakyat biasa, dan karena kebutuhannya akan cenderung “menyerah”, daripada “memperpanjang urusan” dengan orang-orang yang berbicara dalam “bahasa yang terdengar asing” untuk mereka.
3.Perjanjian baku kerap kali juga mencantumkan klausula yang menyatakan bahwa perjanjian itu tunduk kepada (berbagai) undang undang dan peraturan-peraturan (lain) yang berlaku, yang bisa membuat konsumen yang kritis “putus asa”, karena rakyat biasa umumnya juga buta huruf mengenai (berbagai) undang-undang dan peraturan-peraturan (lain) yang berlaku yang nota bene adalah banyak sekali itu.
4.Penyusun ketentuan suatu perjanjian baku dapat merumuskannya dengan sedemikian rupa, sehingga ketentuan itu secara komprehensif dalam pelaksanaannya lebih mudah menguntungkan pelaku usaha dan lebih mudah merugikan konsumen, dan hal itu tdak mudah disimak oleh konsumen yang kebanyakan adalah orang awam dalam hal kontrak
Karena itu, jika dibiarkan begitu saja, perjanjian baku berpotensi besar untuk menjadi tidak adil karena memberikan keleluasaan kepada pelaku usaha untuk menjadi sewenang-wenang (arbitrary) terhadap konsumen
Untuk menciptakan kecepatan, ketepatan, dan akurasi, maka berbagai perjanjian di atas tidak dibuat melalui perundingan atau negosiasi, melainkan didisain, disusun, dibuat, dan digandakan secara sepihak oleh salah satu pihak, sebagai berikut: ·
Perjanjian distribusi antara produsen dengan distributor, didisain, disusun, dibuat, dan digandakansecara sepihak oleh produsen;·
Perjanjian distribusi antara distributor dengan sub distributor, didisain, disusun, dibuat, dan digandakan secara sepihak oleh distributor; · Perjanjian distribusi antara grosir dengan pengecer, didisain, disusun, dibuat, dan digandakan secara sepihak oleh grosir·
Perjanjian jual beli dalam bentuk bon pembelian antara pengecer dengan konsumen, didisain, disusun, dibuat, dan digandakan secara sepihak oleh pengecer. Pada bon pembelian dicantumkan perjanjian sederhana, yaitu ‘barang yang sudah dibeli tdak boleh ditukar atau dikembalikan’ yang didisain, disusun, dibuat, dan digandakan secara sepihak oleh pengecer;
Pengertian Perjanjian Baku dan Klausula Baku
Perjanjian baku/perjanjian standar (standard form contracts/standardized contracts/adhesion contracts) adalah perjanjian tertulis berupa dokumen yang isi, bentuk, serta cara penutupannya telah dibakukan secara sepihak oleh salah satu pihak, kemudian digandakan, dan digunakan secara massal tanpa mempertmbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki para pihak (take-it or leave-it contracts). Di dalam perjanjian baku terdapat satu atau lebih ketentuan, dapat berupa pasal, yang disebut sebagai klausula baku/klausula standar (standardized clauses/standardized terms).
Klausula Baku dapat berisi:
•Klausula baku yang adil (fair contract terms);
•Klausula Baku yang tdak adil (unfair contract terms) yang disebut klausula eksonerasi (exoneraton clauses) atau klausula eksemsi (exempton clauses
Klausula eksonerasi atau klausula eksemsi adalah ketentuan berupa pasal dalam perjanjian baku yang berisi penambahan, pengurangan, pembatasan secara sepihak atas hak dan kewajiban salah satu pihak oleh pihak lain yang menetapkan isi, bentuk, serta cara penutupan perjanjian baku
Perlu dikemukakan bahwa terdapat perjanjian baku yang dibuat tdak secara sepihak melainkan oleh kedua pihak secara tdak langsung, yaitu perjanjian kerja antara pemberi kerja dan pekerja yang berbentuk perjanjian baku.
Disebut sebagai perjanjian baku yang dibuat oleh kedua pihak, karena perjanjian kerja antara pemberi kerja dan pekerja (individual labour agreement) yang berbentuk perjanjian baku harus didasarkan pada perjanjian kerja bersama (collectve labour agreement) yang merupakan kesepakatan kerja antara serikat pekerja dengan pemberi kerja. Dengan demikian, pada hakikatnya isi atau klausula baku di dalam perjanjian kerja antara pemberi kerja dan pekerja yang berbentuk perjanjian baku, merupakan kesepakatan para pihak, yaitu antara pemberi kerja dengan pekerja.
Perjanjian Baku Digital
pada saat ini perjanjian baku telah mengalami perubahan,perkembangan perjanjian baku sebagai dampak dari Revolusi Industri 4.0, dari perjanjian baku dalam bentuk tertulis pada kertas (paper based) menjadi perjanjian baku dalam bentuk digital (digital based).
Perjanjian baku dalam bentuk digital merupakan perjanjian baku yang dibuat melalui sarana elektronik yang digunakan di dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Adapun ciri dari perjanjian baku dalam bentuk digital sebagai berikut:
Tanpa kertas (paperless) Perjanjian baku dirancang, ditawarkan oleh salah satu pihak secara digital, dan dibuat atau ditutup oleh para pihak tanpa menggunakan kertas, melainkan dibuat secara digital; • Tanpa tatap muka (faceless) Berhubung perjanjian baku dirancang, ditawarkan, dan dibuat secara digital, maka para pihak tdak pernah bertemu secara tatap muka sejak saat penawaran sampai dengan penerimaan perjanjian baku, bahkan setelah pelaksanaan perjanjian baku selesai;
Tanpa uang kartal (uang kertas dan logam) atau (cashless) Berhubung sejak saat penawaran sampai dengan pelaksanaan perjanjian baku dilakukan secara digital, maka pembayaran atas obyek transaksi dalam perjanjian baku sebagai bagian dari pelaksanaan perjanjian dilakukan pula secara digital tanpa uang kartal. Pembayaran dilakukan melalui berbagai alat pembayaran cashless, antara lain transfer dana elektronik dan alat pembayaran menggunakan kartu (card-based, ATM, kartu kredit, kartu debit, dan kartu prabayar);
Menggunakan tandatangan digital (digital signatures) Tanda tangan digital digunakan untuk membuktkan keaslian identtas para pihak dalam suatu dokumen, dalam hal ini perjanjian baku digital. Selain itu, tanda tangan digital merupakan tanda tangan elektronik yang telah tersertfkasi. Menurut Pasal 1 angka 12 UU. No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Tanda tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifkasi dan autentkasi. Selanjutnya, menurut Pasal 54 Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 Tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), kontrak elektronik dapat menggunakan tanda tangan elektronik sebagai tanda persetujuan para pihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
Melampaui batas wilayah negara (borderless) Mengingat perjanjian baku digital ditawarkan secara digital dalam suatu laman (websites) yang disebarluaskan melalui internet, maka akses terhadap perjanjian baku digital tersebut dapat melampaui batas wilayah negara dari pihak yang menawarkan perjanjian baku digital tersebut.
Meliputi banyak yurisdiksi (multple jurisdicton) Sebagai akibat perjanjian baku dapat diakses oleh pihak lain di luar negara pihak yang menawarkan perjanjian baku digital, maka terdapat kemungkinan keterlibatan banyak yurisdiksi hukum yang menguasai perjanjian baku digital tersebut. Sebagai contoh dapat terjadi kombinasi yurisdiksi hukum sebagai berikut: o Para pihak dalam perjanjian baku digital merupakan warganegara yang berbeda, sehingga hukum yang berlaku bagi perjanjian digital yang mereka buat juga berbeda; o Obyek perjanjian digital merupakan barang dan/atau jasa yang berasal dari negara yang berbeda dengan negara para pihak yang membuat perjanjian baku digital; o Pembayaran dilakukan dengan menggunakan alat pembayaran cashless, antara lain transfer dana elektronik dan alat pembayaran menggunakan kartu (card-based, ATM, kartu kredit, kartu debit, dan kartu prabayar) yang diterbitkan oleh negara yang berbeda dengan negara para pihak maupun negara di mana obyek perjanjian digital berasal.(Red)