Jakarta,Sinarpolitan.com- Tidak ada satu mekanisme yang pas untuk mengatakan bahwa pengembalian kerugian negara dugaan korupsi menghapus kasusnya, karena di situ tindak pidananya setelah terjadi. Rabu (2/6/2021)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.namanya tindak pidana korupsi tidak menghilangkan pidana dengan mengembalikan uang kerugian negara. Pada intinya dalam undang-undang itu menjelaskan pengembalian itu tidak menghapus pidananya pelaku tindak pidana korupsi. Walau pelaku sudah mengembalikan uang hasil korupsinya tetap saja dipidana,
Pengembalian uang dugaan hasil korupsi tergantung diskresi dari para penegak hukum dalam hal ini polisi atau jaksa. Apakah polisi atau jaksa mau lanjut atau tidak, karena itu terserah penegak hukum.
“Masalahnya adalah apakah pengembalian itu merupakan hukuman atau bukan, karena penegak hukum tidak dijelaskan pengembalian itu sudah hukumannya atau tidak,” jelasnya.
Kalau memang ada pengembalian,Nanang menjelaskan, misalnya yang diambil atau dikorupsi Rp 20 jt, harusnya lebih dari itu atau didenda karena sudah terjadi kerugian negara.
“Saya contohkan, misalnya yang diambil Rp 20juta dikembalikan Rp 20 juta. Harusnya lebih dari itu atau denda, karena sudah terjadi kerugian negara dan uang Rp 20 juta itu uang rakyat yang digunakan pejabat terjadi kerugian negara,”
Sebenarnya pengembalian kerugian itu ditentukan oleh pengadilan bukan polisi atau jaksa. Tapi karena masing-masing penegak hukum memiliki diskresi yang berbeda.
Pengadilan yang menentukan apakah harus ditahan atau mengembalikan dengan denda. Selama ini selalu selesai di polisi dan jaksa tapi tidak pernah sampai di pengadilan, kalau ada pengembalian maka pengadilan harus putuskan bahwa wajib mengembalikan kerugian negara dan denda,” jelasnya.
“Manfaat pengembalian uang hanya untuk meringankan hukumannya saja di Pengadilan nanti bagi pelaku korupsi. Itu pun Hakim nanti yang menentukan,
Nanang Ma’ruf. penegak hukum harus bisa menilai bahwa pengembalian itu merupakan salah satu bukti telah terjadi tindak pidana korupsi.
“Kekeliruan menurut saya dari sisi penegakan tindak pidana korupsi, SP3 itu dianggap sebagai cara untuk menghentikan perkara kalau kasus-kasus seperti itu. Karena namanya mengembalikan berarti dia sudah berbuat kesalahan dan terbukti,(Red)