Jakarta,Sinarpolitan.com.Ajaran hukum klasik menyatakan bahwa ada 3 (tiga) tujuan hukum yaitu,1. Keadilan, 2. Kepastian hukum dan 3. Kemanfaatan hukum. Ketiga tujuan hukum ini tidak pernah dapat bertemu. Van Apeldoorn mengatakan bahwa keadilan itu individual, apa yang adil menurut saya, belum tentu adil menurut orang lain. Sedangkan kepastian hukum menyamaratakan. Kepastian hukum itu, harus berlaku umum, harus berlaku untuk semua orang. Oleh karena itu, antara kepastian dan keadilan tidak mungkin Bersatu. Bagaimana dengan kemanfaatan hukum ? Ini jauh lebih sulit lagi, hukum yang bermanfaat belum tentu menjamin kepastian hukum. Contoh klasik tentang pengemisan, jika di satu kampung pekerjaan semua orang melakukan pengemisan, maka hukum itu dirasa tidak lagi efektif, hukum yang melarang perbuatan mengemis itu sudah tidak bermanfaat lagi sehingga perlu di hapus. Kemanfaatan hukum melanggar unsur kepastian hukum dan keadilan.
Han Kelsen dalam teori hukum murni, terus memikirkan hubungan antara keadilan dengan hukum (baca kepastian hukum). Bagi Hans Kelsen, hukum harus dipisahkan dari keadilan. (ajaran hukum murni), Keadilan adalah kulitnya dan hukum adalah isinya. Keadilan itu yang membungkus hukum, sehingga harus dibedakan antara keadilan dan hukum. Tujuan hukum bukanlah keadilan, namun menuju pada kepastian hukum.
Jauh di Benua Amerika, Roscoe Pound dengan social engineering nya menuntut pemisahan antara hukum dan moral. Hukum adalah alat (sekali lagi hanya alat) untuk merekayasa masyarakat, oleh karena itu, tidak relevan untuk membahas, apakah hukum itu bermoral atau tidak. Sebagai contoh, undang-undang mengenai aborsi, bagi Roscoe Pound, kita tidak perlu bertanya apakah hukum itu bermoral atau tidak, yang penting tujuan dari adanya hukum itu, agar masyarakat benar-benar merasakan kemanfaatannya. Kelahiran yang luar biasa cepat, atau kelahiran yang tidak dikehendaki, dapat di cegahdengan jalan aborsi . Tentu aliran Roscoe Pound ini bagian dari tujuan hukum, kemanfaatan hukum.
Kalau demikian, apakah keadilan itu ? sepanjang ribuan tahun, manusia mencoba mendefenisikan mengenai arti dari keadilan. Aristotetel membagi keadilan dalam dua yaitu keadilan komutative dan keadilan distributive. (saya tidak menjelaskan krn rekan-rekan pasti sdh tahu), ada yang menyangkutkan keadilan dengan agama atau norma kesusilaan, atau norma kepatutan.
Jauh sebelum Aristoteles, Hammuraby, Raja kerajaan Babel telah menciptakan hukumnya dimana Mata ganti mata, tangan ganti tangan, dan nyawa ganti nyawa. Hal mana kira-kira 2000 tahun kemudian, Musa membuat hukum ini kemudian berlaku bagi Bangsa Israel. Bagi Hammurabi, adil apabila seorang yang mencuri harus dipotong tangannya. Tindakan seseorang yang mencuri, telah melanggar keadilan masyarakat dan negara, maka orang tersebut harus dihukum untuk menegakan keadilan. Perbuatan yang merusak, yang telah merobek harmoni masyarakat, wajib dihukum agar harmony itu dapat pulih lagi. Musa kemudian menerapkan hukum ini sebagai bagian dari kekudusan Yang Mahakuasa dan Mahakudus. Dimana Mahakudus itu telah memerintahkan agar perbuatan-perbuatan merusak itu harus dilarang. Musalah yang kemudian menaruh sifat kekekalan dalam hukum. Pertanyaannya adalah apakah kemudian hukum musa itu dapat menyelesaikan problem masyarakat ?
Agustinus yang Agung dalam bukunya Confession jauh hari telah menulis pula mengenai keadilan. Bagi Agustinus arti keadilan artinya tidak tergantikan. Dia mendasarkan diri pada Perintah Tuhan kepada Adam agar jangan memakan buah itu. Dan Adam telah melanggar kekudusabn perintah itu, maka akibanya adam harus terlempar dari Surga. Bagi Agustinus, baik Hammuraby atau Musa , serdang menjalankan suatu usaha yang sia-sia untuk bagaimana menegakan keadilan (yang berasal dari Tuhan), usaha mana tidak mungkin terjadi. Tuhan yang adil, harus menghukum manusia manakala manusia itu melanggar perintah dari Tuhannya. Ajaran agustinus ini juga perlu kita debatkan, dan jika ada rekan-rekan yang mau menggapai tulisan saya ini, saya dengan rendah hati membuka ruang dialog, bahkan mendapat banyak masukan dari rekan-rekan. ( kemarin dalam tulisan saya, acontrario, telah mendapat masukan dari reken MONANG SAGALA, saya sangat Bahagia dan tentu sangat mengharapkan masukan pula dr rekan-rekan yang lain).
Berkaca dari pendapat Agustinus ini, kita melhat sejarah umat manusia, walaupun hukuman sudah sedmikian keras, mulai dari Raja Hammurabi sampai dengan saat ini, kejahatan tetap saja ada, korupsi di Indonesia tetap saja marak. Apakah hukum sudah sedemikian lemah untuk menangkal kejahatan-kejahatan umat manusia ? jawabannya tentu tidak. Kita melihat hukuman mau menggantikan perasaan adil yang tersobek akibat pelanggaran hukum. Namun kenyataannya kejahatan tetap terjadi bahkan lebih dahsyat dari tahun-tahun sebelumnya.
Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa tujuan hukum yang harus kita tuju adalah kepastian hukum. Dengan hukum yang pasti, maka masyarakat akan lebih tertib dan tentunya pada akhirnya mendatangkan kepatuhan hukum yang bermafaat bagi masyarakat, jika hukum itu bermanfaat, maka keadilan dapat dicapai.(Adv)