Jakarta, Sinarpolitan.com – Demokrasi Di Indonesia Rusak, Pincang, Flaws, Mudah Dimanipulasi, Mudah Di Kadali, Direkayasa, Mudah Terjadi Kongkalikong Antara Executive (Penguasa) dan Legislative (DPR), Antara Partai Politik dan Executive, Karena Sistem Pemerintahan dan Tata Negara Indonesia Saat Ini Tidak Mengadopsi Adanya Separation Of Power, Tidak adanya System Oversight, Checks and Balances.
Dan Semua Ini Terjadi Sumber Masalah Awalnya Dari Kedaulatan Rakyat Yang Dikudeta Oleh Partai Politik Dengan UU MD3 Dengan Memberikan hak P.A.W Dari Tangan rakyat Kepada Petinggi Partai Politik, Sehingga Anggota DPR Tidak Berfungsi Lagi, Pada Takut Di P.A.W Oleh Petinggi Partainya Masing-Masing Kalau Mau Coba-Coba Mokong Melawan Penguasa.
Keberadan partai politik di Indonesia tidak boleh memiliki “kekuasaan” lebih tinggi dari kedaulatan rakyat yang menjadi prinsip nomer # 1 dalam demokrasi.
Separation Of Power (pemisahaan kekuasaan) itu tidak sama dengan sharing of power atau power sharing (bagi-bagi kekuasaan). Separation of power menuntut bahwa 3 lembaga tinggi negara; Executive, Legislative dan Judiciary itu harus exist, dispersed, decentralised dan co-equal. Co-Equal ini tidak boleh ada campur tangan executive, seperti partai mendapat jatah kursi kabinet menteri lantas kadernya di DPR-RI diikat tidak boleh melawan penguasa. Kalau tidak nurut, diancam akan di P.A.W…??? Ini khan demokrasi petruk…???
Demokrasi di Indonesia masih belum paham atau pura-pura tidak paham, sehingga system oversight, checks and balances itu tidak dijalankan. Apa itu system oversight, checks and balances antar lembaga tinggi negara.? System oversights, Checks and Balances di US Congress sendiri yang terdiri dari 2 chambers; Senate dan House Of Representative. Anggota House of Representative disebut Congressman. Anggota Senate disebut Senator.
Ketika seorang Congressman atau 2 Congressmen mengajukan RUU; seperti Obama Care misalnya, maka RUU itu akan diperbedapatkan di House of Representative oleh semua parties, Democrat, Republican dan Independent. Proses pengajuan RUU di US Congress ini ada 9 steps dari drafting hingga veto dan overruled.
Bila RUU itu lolos di House of Representative, berarti RUU itu sudah menjalani minimal 5 proses layer of oversight, checks and balances didalam prosesnya, karena RUU itu harus masuk melalui poses debates dan hearings di Committee, Sub-Committee, Public Hearings, Mark Up Committee And Both Chambers.
Debate di satu Chamber ini layer pertama dari system oversight, checks and balances di US Congress.
RUU yang sudah lolos dari House of Representative itupun belum menjadi UU, masih harus disetujui oleh Senate dan akan diperdebatkan oleh 100 Senator. Inilah layer kedua system oversight, checks and balances yg dilakukan di US Congress. Rata-rata Senate atau Senator itu 99% tidak akan setuju dgn RUU versi House of Representative. Senate akan membuat dan mengeluarkan RUU yang sama versi Senate. RUU versi Senate itupun harus di voting di Senate dan bila lolos, maka itulah RUU resmi versi Senate.
Bila ada 1 Senator saja yang mbalelo di Senate, tidak setuju dengan RUU itu dan ingin menghentikan Voting di Senate, maka Senator ini bisa melakukan proses political maneuver yg dikenal dgn istilah Filibuster.
Ini hanya proses stalling the session dengan mengambil podium dengan memanfaatkan waktu dan giliran yg dia miliki sebagai seorang Senator mewakili 1 negara bagian, ngoceh ngalor ngidul di Senate Floor hingga pagi hari dan ketika waktu yg ditentukan habis dan dihabiskan oleh Senator yg filibustering ini, maka RUU versi Senate itu tidak lolos.
Filibuster adalah layer ketiga satu bentuk oversight, checks and balances di senate dan di US congress. Masing-masing chamber akan membentuk yg disebut Conference Committee untuk memperdebatkan 2 RUU ini dan ditemukan atau dicari Compromised Version. Ini sudah layer keempat dari system oversight, checks and balances di US Congress. Bila compromised version disetujui both chambers, maka jadilah RUU yang lolos dari US Congress tetapi belum menjadi UU.
System Oversight, Checks and Balances antara US Congress vs. President USA.
Proses selanjutnya, RUU yang lolos dari US Congress itu akan diberikan kepada US President dan US President hanya diberi waktu 10 hari untuk menolak atau menyetujuinya. (Di Indonesia, Presiden diberi waktu 30 hari).
Bila President USA tidak melakukan apa-apa setelah 10 hari, secara automatis RUU itu menjadi UU. Bila US President tidak menyetujuinya, maka US President bisa mengunakan HAK VETO nya. President’s VETO ini adalah layer kelima dari system oversight, checks and balances di US Congress.
Terus apa yg terjadi dengan RUU yang di VETO PRESIDENT.?
US Congress memiliki 3 options : Membiarkan RUU itu gagal dan tidak menjadi UU, Mengubah RUU itu dgn mengakomodasi semua permintaan president dan membuang pasal, ayat dan clauses yg tidak disukai President dan kemudian mengeluarkan RUU versi baru dengan perubahan-perubahan baru, dimana RUU versi baru ini harus di revoting lagi di senate dan juga di house of representative. Ini bentuk oversight, checks and balances layer keenam di US Congress.
Atau US Congress membiarkan dan mempertahakan RUU yg di veto president itu sebagaimana aslinya yg sudah lolos dari US Congress dan kemudian melakukan revoting lagi RUU yang sama, tapi di tolak president.
Bila US Congress mampu mendapatkan 2/3 majority suara menyetujuinya (66.66%), maka RUU itu menjadi UU secara automatis. Istilah nya US Congress overrules President’s Veto. Ini adalah bentuk system oversight, checks and balances layer ke tujuh di US Congress.
Dengan system oversight, checks and balances yang begitu ketat, bertumpuk-tumpuk, akan sulit bagi Executive dan jajaranya untuk memanipulasi fungsi Legislative atau kongkalikong dengan anggota Legislative.
Itulah bentuk Separation Of Power dalam system democracy di USA.
Sekarang bandingkan dengan system demokrasi, system pemerintahan dan tata negara di Indonesia. Akan bisa memberi gambaran dimana Amburadul-nya. Jangankan 7 layer oversight, checks and balances, 1 layer saja nggak ada di DPR.
Itu system deliberation di DPR saat ini; dgn system tata tertib yg tidak demokratis, masih menciptakan Tyranny Majority yang tidak boleh ada dalam parliamentary proceedings, harus dihapus, harus ada checks and balances, harus dirubah tata tertibnya, aturan persidangannya.
Terus apa artinya voting kalau Tyranny Majority masih ada dan terbentuk di DPR…???
Debates menjadi meaningless dan worthless karena bila ada perselihan pendapat antara partai koalisi vs. Partai oposisi terus di voting, jelas partai koalisi kalah. Kondisi politik seperti ini menciptakan Tyranny Majority yang tidak boleh ada di DPR, bisa diremedy dgn proses dan prosedure filibuster seperti di US senate.
Saat ini Tyranny Majority itu masih ada dan terbentuk di DPR, dimana partai oposisi begitu kecil dan mayoritas partai menjadi koalisi dengan penguasa dgn diberi jatah kursi kabinet menteri.
Ada 3 Hal Yang Perlu Segera Dilakukan Untuk Memperbaiki pemilu Di Indonesia Seperti Pilpres, Pileg dan Pilkada, Sehingga Kasus Pilkada Di Solo Bisa Dihindari dan Campur Tangan Presiden Bisa Dieliminasi.
Sesuai mandat Pasal 6A, Ayat 3 dan Ayat 4, UUD 1945 maka dituntut semua Pilpres, Pileg dan Pilpkada harus ada minimal 2 pasangan calon dan dengan Run-Off Election atau dengan 2 putaran.
Bukan 1 putaran dgn suara terbanyak. Keputusan MK No. 50/PUU-XII/2014 sudah tidak berlaku dan dikosongkan (Vacated) oleh UU Pemilu baru No. 7 tahun 2017.
Kandidat Tunggal itu bertentangan dgn Pasal 6A, Ayat 3 dan Ayat 4, UUD 1945 dan juga UU Pemilu No. 7 tahun 2017.
Anggota kommissioner Kpu dan Bawaslu mesti juga diisi oleh minimal 2 orang wakil dari partai politik yg ikut Pemilu yang akan duduk di Kpu dan di Bawaslu dipusat, propinsi dan daerah sebagai anggota Commissioner tanpa gaji, karena mereka mewakili partai politik; kalau minta gaji mesti minta ke partai politik yang diwakilinya, dimana anggota commissioners wakil partai politik ini memiliki kekuasaan Sama (Equal) dengan anggota commissioners yg dipilih lewat proses penyaringan.
Dengan concept ini agar supaya di Kpu ada system oversight, checks and balances didalam institusi Kpu dan Bawaslu itu sendiri, biar kerja Kpu bisa di awasi dari dalam, karena ada anggota commissioner Kpu dari wakil partai yang mengawasinya, dan dengan anggota commissioner Kpu diperbanyak hingga 50 orang, akan sangat sulit untuk di Sogok, kongkalikong dan dipengaruhi oleh penguasa dan Oligarchs.
KPU harus punya system filtrasi untuk menyaring para kandidat dengan methode system primary dengan membuka open debates antar kandidat diberbagai DAPIL dengan voters; minimal di 3 dapil dan juga membuka open debates atau tanya jawab minimal di 2 campus dengan para mahasiswa, akademisi dan wartawan secara terbuka.
System ini akan merontokan kandidat yg punya duit banyak tapi otak kosong blong dengan system primary. 3 hal itu saja sudah akan membuat pemilu dan democracy di Indonesia guaranteed akan jauh lebih baik dan lebih demokratis.
Kalau mau lebih baik lagi segera : Kembalikan hak P.A.W dari partai politik kepada rakyat dgn membatalkan UU MD3. DPR harus menjadi wakil rakyat, bukan wakil partai politik. DPR harus mampu membuat parliamentary proceeding agar tyranny majority itu hilang; di US senate ada filibuster, DPR perlu membuat system dan mekanisme baru yg baik sesuai kebutuhan DPR agar tyranny majority itu tidak muncul di DPR ketika voting itu akan diambil, sehingga DPR mampu menjadi lembaga oversight terhadap kerja lembaga executive.
Kalau tyranny majority itu masih ada dan voting diambil, itu system deliberation ngawur yang tidak demokratis karena tidak paham prinsip deliberation dalam democracy alias democracy bohong.(adv)